Tuesday, March 3, 2009

Efektifitas Sebuah Sekolah

Memasuki tengah paruh waktu semester kedua, kesibukan “besar” mulai mewarnai hampir setiap sekolah di negeri ini. Kesibukan itu tidak lain menyiapkan peserta didik di kelas akhir menghadapi Ujian Nasional (UN). Ujian ini merupakan tahapan penilaian sumatif yang wajib dilalui oleh setiap peserta didik akhir jenjang pendidikannya. Keberhasilan sebuah sekolah meluluskan peserta didiknya, apalagi dengan rerata skor UN yang tinggi, selain membuat peserta didik senang juga menjadi “indikator” keberhasilan guru, kepala sekolah, dan pencitraan sekolah itu di masyarakat. Dan tentu saja, angka kelulusan yang “tinggi” akan menjadi alat klaim bagi pemerintah atas keberhasilan atas kemajuan mutu pendidikan di negeri ini. Benarkah keberhasilan outcome sekolah semacam itu menjadi indikasi atas efektifitas peran sebuah sekolah?. Kapan sebuah sekolah dikatakan efektif?
Efektifitas dan efisiensi adalah dua istilah yang sering disalah artikan. Peter Drucker, membedakan keduanya, “efisien berarti sekolah itu menjalankan program secara benar (efficiency is doing the thing right), dan efektif berarti sekolah memilih program yang benar untuk dijalankan (effectiveness is doing the right thing)”.
Sebuah sekolah yang mempersiapkan anak didiknya, misalnya melalui drilled program, untuk ujian nasional sejak awal berarti sekolah itu telah melakukan langkah efisien dan pantas diacungi dua jempol. Namun demikian, apakah sebuah pilihan yang tepat ketika seluruh “energi” yang dimiliki sekolah dan segenap pemangku kepentingan (stakholders) sekolah hanya untuk mengejar keberhasilan ujian itu? Dengan kata lain apakah itu ciri sebuah sekolah yang efektif? Tentu saja tidak.
Pandangan terhadap sebuah sekolah berubah. Pencapaian outcome sebagai indikator keberhasilan sekolah mulai ditinggalkan dunia pendidikan di era 1980-an. Faktanya sangat jelas bahwa sekolah tidak hanya berurusan dengan kemampuan aritmatik dan bahasa sebagai materi yang sering dijadikan patokan sebuah ujian akhir. Sekolah dalam peran yang lebih besar bertanggungjawab atas bagaimana perilaku (student’s behavior), kerajinan (attendance), sikap moral (moral attitudes), dan konsep diri (self concept) peserta didik selama yang bersangkutan menjalani pendidikannya.
Bahkan perkembangan masyarakat dewasa ini, dunia kerja sekarang melirik lebih luas dan lebih dalam dari sekedar kemampuan seperti itu. Kreatifitas, tanggungjawab, fleksibilitas, kemampuan memecahkan suatu persoalan (problem solving), dan kemampuan berelasi dengan rekan dalam tim adalah fokus lain yang mulai diperhatikan pada waktu sekarang ini. Dengan fungsi yang terakhir menjadi demikian jelas sekolah kehilangan banyak peran karena salah membidik sasaran alias sekolah menjadi tidak efektif lagi menjalankan perannya.
Salah satu persespi tentang sekolah yang efektif telah dilontarkan oleh Stoll dan Fink (1996). Mereka menyatakan bahwa sekolah dikatakan efektif setidaknya mampu memainkan peran untuk (a) mendorong kemajuan peserta didik tanpa terkecuali, terlepas dari latar belakang kemampuan dan faktor-faktor lainnya, (b) menjamin bahwa setiap peserta didik mampu mencapai standar optimal yang bisa mereka raih, (c) meningkatkan seluruh aspek dalam diri peserta didik, khususnya terkait hal akademik dan perkembangan lainnya, dan (d) menciptakan lingkungan belajar kondusif dari waktu ke waktu.
Sebuah sekolah tidak akan mampu menjalankan peran demikian itu sekiranya situasi sekolah tersebut tidak mendukung seperti (a) visi- misi sekolah kabur: guru tidak memahami arah dan tujuan pendidikan, tidak antisipatif dengan perubahan jaman, guru dan komunitas sekolah memiliki orientasi yang berbeda-beda, (b) kepemimpinan sekolah tidak fokus: kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan administrator sekolah yang rendah, program sekolah tidak fokus pada pencapaian praktek pembelajaran peserta didik, (c) hubungan relasional staf tidak harmonis: diskriminasi, iri hati satu guru dengan yang lainnya, komunikasi searah, dan saling berprasangka buruk satu sama lain, bahkan saling menjatuhkan, (d) praktek pembelajaran “kering” : pendekatan mengajar guru sangat minim, tidak ada supervisi dari administrator sekolah, interaksi dan keterlibatan belajar peserta didik dalam pembelajaran sangat rendah, dan fasilitas yang tidak mendukung.

Karakteristik Sekolah yang Efektif
Mengidentifikasi sekolah yang efektif tentu saja tidak bisa hanya terfokus pada pencapaian akademik belajar peserta didik, lebih dari itu juga terkait dengan aspek sosial dan kultural sekolah.
Menurut Sammons (1995) dan Stoll (1996), ada sebelas faktor yang mempengaruhi efektif atau tidaknya sebuah sekolah. Pertama, kepemimpinan yang profesional. Pimpinan sekolah beserta guru memahami secara persis tujuan pendidikan yang diemban sekolahnya, mampu menjabarkan dalam strategi, program, strategi dan prioritas kegiatan yang mampu dipahami dan diterapkan oleh segenap komunitas sekolah . Kedua, sosialisasi visi dan misi. Guru terlibat secara penuh dalam merancang dan menerapkan visi-misi sekolah, tidak saja dalam tataran administratif semata, lebih penting mampu mengaplikasikan dalam pembelajaran serta dalam aktifitas di kelas bersama peserta didik. Ketiga, lingkungan pembelajar. Sekolah adalah lingkungan yang saling mendukung dan mengembangkan satu sama lain sebagai pembelajar, bukan saja untuk peserta didik, namun juga guru, administrator dan kepala sekolah di dalamnya. Keempat, fokus dalam pengajaran. Kegiatan sekolah fokus dalam pengajaran dan belajar, dan bukan untuk kepentingan di luar pendidikan dan pengajaran terlebih untuk sesuatu yang tidak bertalian dengan pendidikan dan pengajaran.
Kelima, ekspektasi yang tinggi. Pengajaran harus memberikan tantangan berpikir (analisis, sintesis, dan aplikasi misalnya) kepada peserta didik secara keseluruhan dengan tetap memperhatikan minat-bakat, pengetahuan awal and karakteristik belajar peserta didik. Keenam, positive reinforcement. Sekolah memiliki aturan main yang jelas bagi setiap peran anggota komunitas sekolah. Setiap peserta didik dan guru “merasakan” perlakuan yang adil, bahkan dikuatkan dan didorong untuk berkembang satu sama lain. Ketujuh, monitoring yang teratur. Administrator menjalankan peran supervise secara regular dan teratur untuk memberikan umpan balik atas praktek pengajaran yang dijalankan di kelas. Monitoring dilakukan dengan tujuan untuk perbaikan proses belajar dan pendekatan/ metoda pengajaran guru sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan dan cara peserta didik belajar. Kedelapan, tanggungjawab dan hak peserta didik. Peserta didik diperlakukan secara adil, khususnya dipenuhi haknya untuk mendapat pengajaran yang bermutu dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Kesembilan, pengajaran yang terstruktur. Pembelajaran dilakukan secara terorganisir dan sistematik. Kurikulum yang dipergunakan memuat tujuan yang jelas, bisa diukur tingkat pencapaian belajarnya, dan guru menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai kebutuhan dan minat peserta didik. Kesepuluh, organisasi pembelajar. Guru mendapatkan kesempatan tak terbatas untuk pengembangan profesionalitas keguruannya melalui serangkaian workshop dan pelatihan sesuai bidang pengajaran yang ditekuninya. Guru dan guru saling mengajar - belajar untuk mengembangkan profesionalitas satu sama lain. Kesebelas, kerjasama sekolah dan stakeholder. Sekolah menjalin kerjasama dan memberikan “tempat” khusus kepada pihak luar sekolah atau partner. Misalnya, terhadap orang tua peserta didik, sekolah menyelenggarakan “hari orang tua” atau melibatkan mereka dalam kegiatan pengembangan, inovasi, dan evaluasi pembelajaran di sekolah.
Peran yang kompleks demikian itu kiranya tidak mungkin dijalankan secara penuh dengan “dua tangan” seorang kepala sekolah, yang bukan seorang superman. Berbagi peran dan tanggungjawab (shared leadership) dengan berbagai pihak di sekolah maupun luar sekolah menjadi pilihan yang paling masuk akal untuk dilakukan.
Maka pertanyaannya sekarang adalah apakah sekolah akan menjalankan fungsinya sekedar untuk “efisien” dengan reaktif, responsif, dan terjebak dalam rutinitas serta hingar bingar learning to test? Ataukah seperti harapan John Dewey (1897), dalam karyanya My Pedagogic Creed, perlahan namun pasti sekolah mesti masuk dalam peran dan tanggungjawab yang lebih luas dan holistik menjadi sebuah sekolah yang efektif agar mampu berperan sebagai agen perubahan di dalam masyarakat.
000

No comments: