Tuesday, March 3, 2009

“PR” Buat Anak, Bagaimana Sebaiknya?

Pekerjaan rumah atau PR bagi anak sekolah, usia SD-SMA misalnya, ternyata memiliki implikasi luas. Tidak saja berkaitan dengan anak sendiri dan guru, namun orang tua pun mulai campur tangan. Masalah ini pun mulai menyentuh ranah lain mulai personal, sosial dan ekonomi. Apa pasalnya? Demikian pengalaman beberapa orang tua.
Saya benci PR. Seperti diungkapkan salah seorang ibu, sebutlah Ibu Susanna, yang anaknya kebetulan murid sebuah SD “favorit” di Jakarta Pusat. “Saya tidak mengerti cara pikir guru sekarang, bagaimana mungkin anaknya bisa diberikan PR sebanyak itu setiap minggunya,” katanya mengeluh. Matemaika, IPS, IPA, atau apalah namanya adalah sederetan pelajaran yang disebut anaknya.
Ia mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anaknya karena waktunya “habis” untuk mengerjakan PR di rumah. Setiap mau diajak “ngobrol” santai jawabnya selalu PR nya belum selesai. Si ibu merasa juga perhatiannya tidak fokus. Dia merasa kehilangan “waktu” berinteraksi secara intens dengan anaknya. “Bukankah hubungan harmonis anak dan orang tua penting dalam keluarga?” lanjutnya.
Setiap pulang ke rumah anaknya amat sering mengeluh akan banyaknya PR, dan kurangnya waktu bermain karena tersita untuk mengerjakan PR dari guru yang jumlahnya kian hari bertambah setiap minggunya. Ibu itu mengeluh, “wajah” anaknya tidak secerah dulu waktu pulang sekolah. Anak itu sekarang tertutup dan jarang berbagi cerita dengan orang tuanya. Dia tinggal serumah tapi merasa asing satu sama lain.
Terkadang dia membantu menyelesaikan anaknya sampai larut malam. Dia kadang berpikir, PR ini diperuntukkan bagi anak atau orang tua si anak sebenarnya. Meski begitu, toh tidak semua hal bisa dilakukannya. Akhirnya, diambilnya keputusan memberi tambahan pelajaran dari guru privat. Uang tambahan harus keluar, waktu tersita lebih banyak, dan perubahan situasi juga tak kunjung datang.
Berbeda dengan ibu pertama tadi. Ibu yang kedua, sebutlah Ibu Rina namanya, merasa pemberian PR oleh guru positif dampaknya. Ia berargumen bahwa dengan PR anak menjadi terbiasa dan lebih memahami apa yang didapatnya di kelas. Ia bisa lebih hafal, lebih terampil, dan memperluas pengetahuannya.
“Anak-anak juga tidak menghabiskan waktunya dengan bermain, seperti menonton tv, bermain komputer atau play station,” bahkan lanjutnya “jadwal harian anaknya lebih teratur setiap harinya.” Dia merasa bahwa guru telah memikirkan apa yang terbaik buat anaknya. Dia memang pernah mendapat keluhan soal banyaknya PR yang mesti dikerjakan oleh anaknya. Namun dia berpikir bahwa anak perlu sejak dini merasakan juga bagaimana pentingnya “bekerja keras” di dalam hidupnya. Toh ini juga demi masa depan si anaknya sendiri.
Si ibu ini emang agak jarang mendapat keluhan tentang prestasi akademik si anak, dia yakin anaknya lancar saja belajar di kelas. Meskipun jarang membantu mengerjakan PR anaknya, ia setuju bahwa orang tua harus campur tangan ketika melihat si anak kesulitan mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Dua kasus di atas barangkali juga menggambarkan pengalaman sebagian orang tua lain yang punya memiliki kesulitan yang sama bagaimana menyikapi keluhan anak tentang hal ini.

Apa gunanya PR?
Pekerjaan rumah atau PR merupakan salah satu instrumen yang dipergunakan guru dalam pembelajaran. Tidak semua PR membantu siswa untuk mengetahui, memiliki ketrampilan dan pemahaman tentang apa yang sedang mereka pelajari. Melalui pemberian PR kepada siswa diharapkan proses pencapain tujuan pembelajaran berjalan dua arah, di sekolah dan di rumah.
Untuk mencermati efektifitas sebuah PR bagi para siswa ada beberapa hal yang penting diperhatikan. Marzano, R. J & dkk (2001), dalam bukunya yang berjudul Classroom Instruction that Works menunjukkan bahwa setidaknya ada empat hal penting perlu diperhatikan ketika guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa.
Pertama, banyaknya pekerjaan rumah sebaiknya berbeda untuk setiap levelnya. Banyaknya PR bagi siswa SD atau SMP tidak perlu sebanyak dan seberat dengan PR yang diberikan kepada siswa SMA misalnya. PR yang diberikan bagi siswa SD sebenarnya bukan dirancang untuk menaikkan skor atau pencapaian tes mereka. Namun lebih untuk mengembangkan kebiasaan belajar, mendorong kebiasaan positif dalam belajar, serta sarana komunikasi antara orang tua dan guru di sekolah.
Kedua, keterlibatan orang tua diusahakan seminimum mungkin. Peran orang tua lebih bersifat fasilitator sejauh itu dibutuhkan si anak. Mengintervensi dan mengambil alih pekerjaan rumah si anak atas nama belas kasihan bukanlah yang dimaksudkan atas tujuan pemberian PR. Maka guru mesti memahami “takaran” seberapa jauh masalah tertentu mesti dikerjakan pribadi atau bersifat kelompok.
Ketiga, tujuan setiap pekerjaan rumah harus jelas dan dapat diterjemahkan secara konkrit. Marzano mengingatkan bahwa setiap bentuk PR adalah berbeda. Tujuan PR yang berbeda mestinya dicapai dengan bentuk soal dan masalah yang berbeda. Tujuan pemberian PR biasanya meliputi dua hal yakni, bersifat praktis persiapan dan untuk sebuah elaborasi atau persiapan materi baru. Jika kepentinganya praktis, maka guru meski yakin benar bahwa setiap anak memahami ketrampilan yang dimaksudkan. Sebaliknya, pekerjaan rumah bisa dipergunakan sebagai pengantar untuk masuk ke dalam mater baru, atau mengelaborasi atas sejumlah kemampuan anak atas materi belajar yang baru selesai diajarkan.
Keempat, guru mesti memberikan feedback atau umpan balik atas setiap pekerjaan rumah yang diberikan. Dalam riset yang dilakukan Marzano, efektifitas dan efisiensi sebuah PR sangat tergantung pada sejauh mana feedback yang diberikan guru tersebut. Pekerjaan rumah yang tidak pernah mendapatkan feedback memiliki “pengaruh” yang lebih rendah dibandingkan dengan yang senantiasa mendapatkan feedback. Artinya sebanyak apapun PR yang diberikan guru tidak akan memiliki makna yang besar ketika tidak disertai dengan umpan balik yang sesuai.
Berapa sesungguhnya banyak atau jumlah PR ideal yang diberikan kepada anak di sekolah kita? Apa ukuran terlalu banyak PR bagi seorang anak?
Pertanyaan di atas perlu diajukan, mengingat “kesalahan” guru menggunakan PR dalam pembelajaran akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran itu sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu menyebabkan guru frustasi karena hasil tidak sesuai harapan, anak didik stress, dan orang tua akan menuding guru tidak “becus” mengajar anak didiknya.
Bagaiman PR yang sesuai bagi anak menurut anda?

Efektifitas Sebuah Sekolah

Memasuki tengah paruh waktu semester kedua, kesibukan “besar” mulai mewarnai hampir setiap sekolah di negeri ini. Kesibukan itu tidak lain menyiapkan peserta didik di kelas akhir menghadapi Ujian Nasional (UN). Ujian ini merupakan tahapan penilaian sumatif yang wajib dilalui oleh setiap peserta didik akhir jenjang pendidikannya. Keberhasilan sebuah sekolah meluluskan peserta didiknya, apalagi dengan rerata skor UN yang tinggi, selain membuat peserta didik senang juga menjadi “indikator” keberhasilan guru, kepala sekolah, dan pencitraan sekolah itu di masyarakat. Dan tentu saja, angka kelulusan yang “tinggi” akan menjadi alat klaim bagi pemerintah atas keberhasilan atas kemajuan mutu pendidikan di negeri ini. Benarkah keberhasilan outcome sekolah semacam itu menjadi indikasi atas efektifitas peran sebuah sekolah?. Kapan sebuah sekolah dikatakan efektif?
Efektifitas dan efisiensi adalah dua istilah yang sering disalah artikan. Peter Drucker, membedakan keduanya, “efisien berarti sekolah itu menjalankan program secara benar (efficiency is doing the thing right), dan efektif berarti sekolah memilih program yang benar untuk dijalankan (effectiveness is doing the right thing)”.
Sebuah sekolah yang mempersiapkan anak didiknya, misalnya melalui drilled program, untuk ujian nasional sejak awal berarti sekolah itu telah melakukan langkah efisien dan pantas diacungi dua jempol. Namun demikian, apakah sebuah pilihan yang tepat ketika seluruh “energi” yang dimiliki sekolah dan segenap pemangku kepentingan (stakholders) sekolah hanya untuk mengejar keberhasilan ujian itu? Dengan kata lain apakah itu ciri sebuah sekolah yang efektif? Tentu saja tidak.
Pandangan terhadap sebuah sekolah berubah. Pencapaian outcome sebagai indikator keberhasilan sekolah mulai ditinggalkan dunia pendidikan di era 1980-an. Faktanya sangat jelas bahwa sekolah tidak hanya berurusan dengan kemampuan aritmatik dan bahasa sebagai materi yang sering dijadikan patokan sebuah ujian akhir. Sekolah dalam peran yang lebih besar bertanggungjawab atas bagaimana perilaku (student’s behavior), kerajinan (attendance), sikap moral (moral attitudes), dan konsep diri (self concept) peserta didik selama yang bersangkutan menjalani pendidikannya.
Bahkan perkembangan masyarakat dewasa ini, dunia kerja sekarang melirik lebih luas dan lebih dalam dari sekedar kemampuan seperti itu. Kreatifitas, tanggungjawab, fleksibilitas, kemampuan memecahkan suatu persoalan (problem solving), dan kemampuan berelasi dengan rekan dalam tim adalah fokus lain yang mulai diperhatikan pada waktu sekarang ini. Dengan fungsi yang terakhir menjadi demikian jelas sekolah kehilangan banyak peran karena salah membidik sasaran alias sekolah menjadi tidak efektif lagi menjalankan perannya.
Salah satu persespi tentang sekolah yang efektif telah dilontarkan oleh Stoll dan Fink (1996). Mereka menyatakan bahwa sekolah dikatakan efektif setidaknya mampu memainkan peran untuk (a) mendorong kemajuan peserta didik tanpa terkecuali, terlepas dari latar belakang kemampuan dan faktor-faktor lainnya, (b) menjamin bahwa setiap peserta didik mampu mencapai standar optimal yang bisa mereka raih, (c) meningkatkan seluruh aspek dalam diri peserta didik, khususnya terkait hal akademik dan perkembangan lainnya, dan (d) menciptakan lingkungan belajar kondusif dari waktu ke waktu.
Sebuah sekolah tidak akan mampu menjalankan peran demikian itu sekiranya situasi sekolah tersebut tidak mendukung seperti (a) visi- misi sekolah kabur: guru tidak memahami arah dan tujuan pendidikan, tidak antisipatif dengan perubahan jaman, guru dan komunitas sekolah memiliki orientasi yang berbeda-beda, (b) kepemimpinan sekolah tidak fokus: kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan administrator sekolah yang rendah, program sekolah tidak fokus pada pencapaian praktek pembelajaran peserta didik, (c) hubungan relasional staf tidak harmonis: diskriminasi, iri hati satu guru dengan yang lainnya, komunikasi searah, dan saling berprasangka buruk satu sama lain, bahkan saling menjatuhkan, (d) praktek pembelajaran “kering” : pendekatan mengajar guru sangat minim, tidak ada supervisi dari administrator sekolah, interaksi dan keterlibatan belajar peserta didik dalam pembelajaran sangat rendah, dan fasilitas yang tidak mendukung.

Karakteristik Sekolah yang Efektif
Mengidentifikasi sekolah yang efektif tentu saja tidak bisa hanya terfokus pada pencapaian akademik belajar peserta didik, lebih dari itu juga terkait dengan aspek sosial dan kultural sekolah.
Menurut Sammons (1995) dan Stoll (1996), ada sebelas faktor yang mempengaruhi efektif atau tidaknya sebuah sekolah. Pertama, kepemimpinan yang profesional. Pimpinan sekolah beserta guru memahami secara persis tujuan pendidikan yang diemban sekolahnya, mampu menjabarkan dalam strategi, program, strategi dan prioritas kegiatan yang mampu dipahami dan diterapkan oleh segenap komunitas sekolah . Kedua, sosialisasi visi dan misi. Guru terlibat secara penuh dalam merancang dan menerapkan visi-misi sekolah, tidak saja dalam tataran administratif semata, lebih penting mampu mengaplikasikan dalam pembelajaran serta dalam aktifitas di kelas bersama peserta didik. Ketiga, lingkungan pembelajar. Sekolah adalah lingkungan yang saling mendukung dan mengembangkan satu sama lain sebagai pembelajar, bukan saja untuk peserta didik, namun juga guru, administrator dan kepala sekolah di dalamnya. Keempat, fokus dalam pengajaran. Kegiatan sekolah fokus dalam pengajaran dan belajar, dan bukan untuk kepentingan di luar pendidikan dan pengajaran terlebih untuk sesuatu yang tidak bertalian dengan pendidikan dan pengajaran.
Kelima, ekspektasi yang tinggi. Pengajaran harus memberikan tantangan berpikir (analisis, sintesis, dan aplikasi misalnya) kepada peserta didik secara keseluruhan dengan tetap memperhatikan minat-bakat, pengetahuan awal and karakteristik belajar peserta didik. Keenam, positive reinforcement. Sekolah memiliki aturan main yang jelas bagi setiap peran anggota komunitas sekolah. Setiap peserta didik dan guru “merasakan” perlakuan yang adil, bahkan dikuatkan dan didorong untuk berkembang satu sama lain. Ketujuh, monitoring yang teratur. Administrator menjalankan peran supervise secara regular dan teratur untuk memberikan umpan balik atas praktek pengajaran yang dijalankan di kelas. Monitoring dilakukan dengan tujuan untuk perbaikan proses belajar dan pendekatan/ metoda pengajaran guru sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan dan cara peserta didik belajar. Kedelapan, tanggungjawab dan hak peserta didik. Peserta didik diperlakukan secara adil, khususnya dipenuhi haknya untuk mendapat pengajaran yang bermutu dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Kesembilan, pengajaran yang terstruktur. Pembelajaran dilakukan secara terorganisir dan sistematik. Kurikulum yang dipergunakan memuat tujuan yang jelas, bisa diukur tingkat pencapaian belajarnya, dan guru menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai kebutuhan dan minat peserta didik. Kesepuluh, organisasi pembelajar. Guru mendapatkan kesempatan tak terbatas untuk pengembangan profesionalitas keguruannya melalui serangkaian workshop dan pelatihan sesuai bidang pengajaran yang ditekuninya. Guru dan guru saling mengajar - belajar untuk mengembangkan profesionalitas satu sama lain. Kesebelas, kerjasama sekolah dan stakeholder. Sekolah menjalin kerjasama dan memberikan “tempat” khusus kepada pihak luar sekolah atau partner. Misalnya, terhadap orang tua peserta didik, sekolah menyelenggarakan “hari orang tua” atau melibatkan mereka dalam kegiatan pengembangan, inovasi, dan evaluasi pembelajaran di sekolah.
Peran yang kompleks demikian itu kiranya tidak mungkin dijalankan secara penuh dengan “dua tangan” seorang kepala sekolah, yang bukan seorang superman. Berbagi peran dan tanggungjawab (shared leadership) dengan berbagai pihak di sekolah maupun luar sekolah menjadi pilihan yang paling masuk akal untuk dilakukan.
Maka pertanyaannya sekarang adalah apakah sekolah akan menjalankan fungsinya sekedar untuk “efisien” dengan reaktif, responsif, dan terjebak dalam rutinitas serta hingar bingar learning to test? Ataukah seperti harapan John Dewey (1897), dalam karyanya My Pedagogic Creed, perlahan namun pasti sekolah mesti masuk dalam peran dan tanggungjawab yang lebih luas dan holistik menjadi sebuah sekolah yang efektif agar mampu berperan sebagai agen perubahan di dalam masyarakat.
000